Susahkah Jadi Reporter?

Asal kamu suka! Kenapa saya katakan demikian? Sebab, kalau sudah suka, maka apa pun tantangannya akan ditempuh. Apa pun masalahnya, akan dicarikan solusi. Sekarang, susahnya di mana? Bahan wawancara? sok atuh kuasai dulu latar belakang masalahnya. Dalam setiap rapat redaksi akan dibahas topik apa yang akan dimuat di edisi mendatang, lalu ditentukan siapa tokoh yang diwawancara dan menugaskan reporter untuk mewawancarainya.

Misalnya sudah dapat di tangan, harus wawancara tokoh A . Tentu saja harus mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. Paling tidak ketika wawancara, kita sudah tahu latar belakang  tokoh A, jadi sudah tahu mau bertanya apa. Sebelum wawancara buatlah poin-poinnya, apa yang akan ditanyakan, nanti di lapangan tinggal mengembangkan.

Demikian pula bila mendapatkan tugas untuk wawancara soal go green, riset dulu soal perkembangan go green saat ini, supaya pas wawancara nggak cengok dan bengong.

Tetapi saya pernah menjadi reporter sebuah majalah yang bergerak di bidang energi. Kebayang nggak sih, kuliah jurusan Hubungan Masyarakat, nggak nyambung sama sekali dengan persoalan minyak, gas, konstruksi, lepas pantai. Hadoooh… awalnya ya ragu, tetapi mereka percaya saya, kok ya saya nggak percaya diri? Masalah bahan kan bisa didalami seraya riset. Kenapa ya, mereka mau merekrut saya, bukannya mereka yang berlatar belakang teknik misalnya? sebab, mereka kesulitan mencari orang yang bisa wawancara dan menulis! So, how lucky I am punya skill itu!

Setiap akan wawancara perut saya mules hihihi, bagaimana nggak? sudah topiknya berat, yang diwawancara pun big bossbig boss perusahaan multinasional, yang super suibukkk dan seolah waktu hanya milik mereka. Karena bisa setiap saat mereka nggak ada di tempat, atau sudah ada planning ke Amerika, dan sebagainya.

Deg-degan lah, takut ketawan bloonnya. Makanya sebelum wawancara saya pelajari tuh topiknya, cari bahannya, minta sama redaksi atau cari di internet. Misalnya tentang gas, nuklir, minyak, pengadaan barang (procurement), huaaa topik-topik yang nggak pernah saya sentuh. Tapi… Alhamdulillah lancar tuh. Dan, saya memilih jujur, apa adanya, kalau nggak ngerti bilang nggak ngerti, nggak mau sok tahu. Malah dapat simpati, kapan lagi bos-bos gede itu presentasi di depan saya? hihihi… demi saya menguasai bahan dan bisa wawancara dengan lancar.

Paling susahnya jadi reporter di Jakarta nih apa? Maceeettt boww… itu aja yang nggak nahanin. Apalagi kalau sudah melintasi kawasan Mampang, Buncit, motor saja berhenti!

Selain itu sih, nggak ada yang susah karena semua bisa dipelajari, asal mau dan tekun. Dan sepertinya profesi reporter ini termasuk profesi yang cukup membanggakan ya, entah kenapa dari dulu kalau saya kenalan sama orang dan menyebut diri saya itu seorang reporter, kebanyakan berdecak kagum. Jadi, kenapa ragu-ragu untuk menjadi seorang reporter?

Sumber gambar: http://rezarh.wordpress.com/category/reporter/

Leave a comment

Categories